• Ideas
  • indonesia

Sidang Penistaan Agama Gubernur Jakarta Mengancam Sekulerisme di Indonesia

4 minute read
Ideas

Read the English version here

Di hari Senin, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menghadiri acara Maulid Nabi di sebuah mesjid di ibukota. Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, dan beragama Kristen, ia ikut menyanyikan lagu bernuansa agama bersama dengan umat Muslim di atas panggung.

Dia juga meminta hadirin untuk memanjatkan doa untuknya karena keesokan harinya dia bakal menghadiri sidang perdana kasus penistaan agama. “Terima kasih untuk bapak-ibu yang mendoakan,” katanya.

Sang gubernur yang lebih dikenal dengan nama Ahok perlu doa restu sebanyak mungkin. Dia pejabat tertinggi yang pernah dituduh menista agama di Indonesia. Banyak pihak yang kuatir sidang ini akan berakhir dengan vonis bersalah.

Kaum Muslim garis keras yang menentang naiknya Ahok sebagai pejabat tertinggi di ibukota Jakarta menuduh ia telah menghina Islam dalam pidatonya pada tanggal 27 September. Saat itu, ia berkata bahwa kaum konservatif yang mengutip ayat Al-Quran untuk menyatakan orang Kristen tidak boleh menjadi pemimpin tidaklah berkata jujur. Ucapnya: “Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya. Karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho. Itu hak bapak ibu, ya.” (Transkrip dan video pidatonya yang diedit dan memelintir ucapannya kemudian menjadi viral dan turut memanasi kemarahan publik.)

Selama dua bulan terakhir, Front Pembela Islam (FPI) dan kelompok garis keras Islam lainnya memimpin tiga demo masif yang melumpuhkan pusat kota Jakarta. Mereka menuntut Gubernur Ahok untuk dipenjara dan bekas atasannya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo, untuk diturunkan dari jabatannya. (Partai Jokowi, PDI-P, mendukung Ahok di pemilihan gubernur tahun depan.) Pada tanggal 2 Desember, Jokowi malah ikut menghadiri sholat dengan para demonstran — keputusan ini membantu menurunkan tekanan politik yang ditujukan kepada dirinya tapi juga beresiko memberikan legitimasi ke sentimen anti Ahok dan anti Tionghoa. “The Politics of Mobocracy,” begitu judul sampul majalah Tempo English minggu lalu yang ditulis di atas foto demo besar-besaran tersebut.

Walau pemimpin dan cendikiawan Muslim membela dan menyatakan Ahok tak bersalah, mulai mencuat opini publik menentang gubernur yang dulunya sangat populer ini. Di survei yang dirilis minggu lalu, 45% dari responden mengatakan Ahok telah menista agama Islam, walau 88.5% mengaku mereka tidak tahu persis apa yang dia katakan. “Artinya kalau tidak tahu persis pernyataan Ahok, lalu bisa setuju ada penistaan agama atau tidak ada penistaan agaka, itu atas dasar apa?” begitu pertanyaan pollster Saiful Muljani yang dikutip media lokal.

Sidang Ahok bukanlah satu-satunya kasus hukum di pengadilan Indonesia yang didasari oleh motif agama. Tahun ini, kelompok pro keluarga yang menamakan dirinya Aliansi Cinta Keluarga, atau AILA, mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengkriminalisasikan hubungan intim kaum LGBT dan hubungan seksual di luar nikah. Ada kekuatiran bila mereka berhasil, kasus ini bisa membuka jalan untuk menghukum kelompok minoritas lainnya.

Kedua kasus ini tak hanya menandakan tumbuhnya gerakan intoleran terhadap minoritas etnis, agama dan seksual di Indonesia — tapi juga tarik-menarik antara kekuatan Islamis dan sekuler yang telah berlangsung selama puluhan tahun di negara ini.

Indonesia, yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, adalah negara sekuler yang memisahkan antara agama dan negara, dan di mana kelompok minoritas semestinya diperlakukan sama di mata hukum. Prinsip sekuler dimulai ketika bapak bangsa sepakat untuk tidak memasukan hukum Syariah di UUD 1945 — konon untuk mengakomodasi keinginan kelompok minoritas agama, terutama mereka di bagian timur Nusantara yang berbudaya majemuk ini.

Namun kini ada ketakutan kalau demokrasi Indonesia diancam dan dibajak oleh kelompok garis keras dan ultra-konservatif. Di satu pihak, para jihadi memimpikan untuk mewujudkan khalifah dengan cara kekerasan, di lain pihak ada kelompok yang mendorong agenda Islamis melalui jalan politis dan sosial.

Menurut KUHP Indonesia, homoseksual bukanlah sesuatu yang illegal. Tapi saat sidang MK, seorang saksi ahli untuk AILA berargumen bahwa konsep HAM universal tidak berlaku di Indonesia karena negara ini dibangun berdasarkan norma agama.

Protest in Jakarta against the governor
Hundreds of thousands of Indonesian Muslims hold a peaceful protest against the Jakarta Governor who is accused of insulting Islam, in Jakarta, Indonesia on December 02, 2016. The protesters demand the acceleration of legal proceedings against Governor Basuki Ahok Tjahaja Purnama.Anadolu Agency/Getty Images Ratusan ribu umat Muslim Indonesia di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 ikut demo damai memprotes Gubernur Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama yang dituduh menista agama Islam

Sewaktu berkhotbah di depan Presiden Jokowi dan menteri kabinetnya di saat demo tanggal 2 Desember, pemimpin FPI, Habib Rizieq Shihab, mengatakan bahwa “hukum Allah di atas semuanya, bahwa ayat suci di atas ayat konstitusi.”

Jokowi mengumumkan baru-baru ini bahwa ia akan membentuk task force untuk menangani masalah intoleransi. “Selain Islam, Indonesia adalah rumah bagi umat Kristiani, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konfusius,” sebelumnya ia berpidato minggu lalu di Forum Demokrasi Bali. “Nilai-nilai perdamaian juga dipegang teguh oleh semua umat di Indonesia.”

Sebagai politisi, dia telah meminta dukungan dari pemimpin agama, namun dia tak menjamah kelompok garis keras seperti FPI. Dengan sikapnya yang netral, dia seakan mengorbankan Ahok; dia berucap: “Saya tidak akan melindungi saudara Basuki Tjahaja Purnama.”

Pengadilan Ahok, seperti judicial review di MK, adalah ujian atas komitmen Indonesia terhadap prinsipnya sebagai negara yang sekuler, inklusif dan toleran. Sejauh ini, Indonesia gagal dalam test ini.

More Must-Reads from TIME

Contact us at letters@time.com

TIME Ideas hosts the world's leading voices, providing commentary on events in news, society, and culture. We welcome outside contributions. Opinions expressed do not necessarily reflect the views of TIME editors.